SEJARAH PIDIE JAYA
Dasar hukum
|
|
Tanggal
|
|
Pemerintahan
|
|
H. Aiyub Abbas
|
|
Luas
|
1.073,6 km2
|
Populasi
|
|
- Total
|
|
- Kepadatan
|
130,2
jiwa/km2
|
Demografi
|
|
-
|
|
Pembagian
administratif
|
|
8
|
|
215
|
|
- Situs web
|
|
Kabupaten Pidie Jaya adalah salah satu kabupaten di Aceh, Indonesia. Ibukotanya adalah Meureudu. Kabupaten ini dibentuk berdasarkan Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2007 pada tanggal 2 Januari 2007. Kabupaten Pidie Jaya terdiri delapan Kecamatan, yakni Kecamatan Bandar
Baru dengan Ibukotanya Lueng Putu, Kecamatan Pante Raja ibukotanya Keude Pante
Raja, Kecamatan Trieng Gadeng Ibukotanya Trieng Gadeng, Kecamatan Meureudu
Ibukotanya Meureudu, Kecamatan Meurah Dua Ibukotanya Simpang Puet, Kecamatan
Ulim Ibukotanya Keude Ulim, Kecamatan Jangka Buya Ibukotanya Jangka Buya,
Kecamatan Bandar Dua Ibukotanya Ulee Gle. Kabupaten Pidie Jaya adalah 1 dari 16
usulan pemekaran kabupaten/kota yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat pada tanggal 8 Desember 2006.
Batas
Wilayah
Wilayah
Administratif
Kabupaten Pidie Jaya terbagi dalam delapan (8) kecamatan
dan 222 gampoeng.. Berikut ini
merupakan daftar kecamatan yang ada di Kabupaten Pidie Jaya beserta luas dan
jumlah mukim
dan gampoeng yang dimilikinya.
Kecamatan
|
Ibukota
|
Luas Darat (Km2)
|
Luas Laut 4 Mil (Km2)
|
Luas Total (Km2)
|
Persentase (%)
|
Mukim
|
Gampoeng
|
Bandar
Dua
|
Ulee
Glee
|
176,26
|
-
|
176,26
|
14,99
|
5
|
45
|
Bandar
Baru
|
Leung
Putu
|
223,64
|
57,60
|
281,24
|
24,19
|
8
|
43
|
Jangka
Buya
|
Jangka
Buya
|
7,88
|
21,76
|
29,64
|
2,55
|
2
|
18
|
Meurah
Dua
|
Meurah
Dua
|
276,20
|
16,00
|
292,20
|
25,13
|
3
|
19
|
Meureudu
|
Meureudu
|
139,14
|
17,60
|
156,74
|
13,48
|
7
|
30
|
Pante
Raja
|
Pante
Raja
|
13,80
|
26,24
|
40,04
|
3,44
|
2
|
10
|
Trienggadeng
|
Trienggadeng
|
76,19
|
51,81
|
128,00
|
11,01
|
5
|
27
|
Ulim
|
Ulim
|
40,89
|
19,84
|
60,73
|
5,22
|
5
|
30
|
Tofografi
Secara topografi Kabupaten Pidie Jaya berada pada
ketinggian 0,80 m s/d 125,0 m di atas permukaan laut dengan tingkat kemiringan
lahan antara 0 sampai 40%, dimana untuk kota
kota kecamatan seperti Panteraja, Treinggadeng,
dan Meureudu berada dipesisir pantai laut Malaka. Secara keseluruhan Kabupaten
Pidie Jaya rawan terhadap banjir dan erosi. Kecamatan Ulee Glee yang merupakan
wilayah yang berada ditempat yang lebih tinggi dari daerah lainnya dan wilayah
selatan dari kecamatan Bandar Baru, Panteraja, Trienggadeng dan Merah Dua dari
Kabupaten Pidie Jaya juga merupakan kawasan hutan yang selama ini terjadi
penebangan hutan yang tidak terkendalinya dan kurang berhasilnya reboisasi
kawasan hutan berpotensi untuk terjadinya erosi. Dari klasifikasi lereng,
Kabupaten Pidie Jaya merupakan daerah dataran tinggi yang memiliki daerah kelas
lereng lebih besar dari 40 % dan daerah pesisir pantai yang memiliki
klasifikasi lereng 0 - 3 %. Bila dilihat dari jenis tanah kabupaten Pidie
Jaya, jenis tanah podzolit merah kuning merupakan jenis terluas dengan beberapa
jenis tanah lainnya. Keadaan tanah efektif di Kabupaten Pidie Jaya mencapai
94,78 % untuk kedalaman lebih dari 90 cm, sedangkan sisanya 5,22 %
tersebar ke dalaman lainnya.
Sejarah
Negeri Meureudu pernah dicalonkan sebagai ibu
kota Kerajaan Aceh.
Namun konspirasi politik kerajaan menggagalkannya. Sampai kerajaan Aceh runtuh,
Meureudu masih sebuah negeri bebas.
Negeri Meureudu sudah terbentuk dan diakui sejak
zaman Kerajaan Aceh. Ketika Sultan Iskandar Muda berkuasa (1607-1636)
Meureudu semakin diistimewakan. Menjadi daerah bebas dari aturan kerajaan.
Hanya satu kewajiban Meureudu saat itu, menyediakan persediaan logistik (beras)
untuk kebutuhan kerajaan Aceh.
Dalam perjalanan tugas Iskandar Muda ke daerah Semenanjung Melayu (kini Malaysia)
tahun 1613, singgah di Negeri Meureudu, menjumpai Tgk Muhammad Jalaluddin, yang
terkenal dengan sebutan Tgk Ja Madainah. Dalam percaturan politik kerajaan Aceh
negeri Meureudu juga memegang peranan penting.
Hal itu sebegaimana tersebut dalam Qanun Al-Asyi
atau Adat Meukuta Alam, yang merupakan Undang-Undangnya Kerajaan Aceh. Saat
Aceh dikuasai Belanda, dan Mesjid Indra Puri direbut, dokumen undang-undang
kerajaan itu jatuh ke tangan Belanda. Oleh K F van Hangen, dokumen itu kemudian
diterbitkan dalam salah satu majalah yang terbit di negeri Belanda.
Dalam pasal 12 Qanun Al-Asyi disebutkan, Apabila
Uleebalang dalam negeri tidak menuruti hukum, maka sultan memanggil Teungku
Chik Muda Pahlawan Negeri Meureudu, menyuruh pukul Uleebalang negeri itu atau
diserang dan Uleebalang diberhentikan atau diusir, segala pohon tanamannya dan
harta serta rumahnya dirampas.
Kutipan Undang-Undang Kerajaan Aceh itu,
mensahihkan tentang keberadaan Negeri Meureudu sebagai daerah kepercayaan
sultan untuk melaksanakan segala perintah dan titahnya dalam segala aspek
kehidupan politik, ekonomi, sosial, budaya, dan pertahanan keamanan Kerajaan
Aceh Darussalam.
Malah karena kemampun tersebut, Meureudu pernah
dicalonkan sebagai ibu kota kerajaan. Caranya, dengan menimbang air Krueng
Meureudu dengan air Krueng Aceh. Hasilnya Air Krueng Meureudu lebih bagus.
Namun konspirasi elit politik di Kerajaan Aceh mengganti air tersebut. Hasilnya
ibu kota Kejaan Aceh tetap berada di daerah Banda Aceh sekarang (seputar aliran Krueng Aceh). Untuk mempersiapkan
pemindahan ibu kota kerajaan tersebut, sebuah benteng pernah dididirkan sultan
Iskandar Muda di Meureudu. Benteng itu sekarang ada di tepi sungai Krueng
Meureudu.
Peranan Negeri Meureudu yang sangat strategis
dalam percaturan politik Pemerintahan Kerajaan Aceh. Ketika Sultan Iskandar
Muda hendak melakukan penyerangan (ekspansi) ke semenanjung Melayu
(Malaysia-red). Ia mengangkat Malem Dagang dari Negeri Meureudu sebagai
Panglima Perang, serta Teungku Ja Pakeh-juga putra Meureudu-sebagai penasehat
perang, mendampingi Panglima Malem Dagang.
Setelah Semenanjung Melayu, yakni Johor berhasil
ditaklukkan oleh Pasukan Pimpinan Malem Dagang, Sultan Iskandar Muda semakin
memberikan perhatian khusus terhadap Negeri Meureudu. Kala itu sultan paling
tersohor dari Kerajaan Aceh itu mengangkat Teungku Chik di Negeri Meureudu,
putra bungsu dari Meurah Ali Taher yang bernama Meurah Ali Husein, sebagai perpanjangan
tangan Sultan di Meureudu.
Negeri Meureudu negeri yang langsung berada di
bawah Kesultanan Aceh dengan status nenggroe bibeueh (negeri bebas-red). Di
mana penduduk negeri Meureudu dibebaskan dari segala beban dan kewajiban
terhadap kerajaan. Negeri Meureudu hanya punya satu kewajiban istimewa terhadap
Kerajaan Aceh, yakni menyediakan bahan makanan pokok (beras-red), karena Negeri
Meureudu merupakan lubung beras utama kerajaan.
Keistimewaan Negeri Meureudu terus berlangsung
sampai Sultan Iskandar Muda diganti oleh Sultan Iskandar Tsani. Pada tahun
1640, Iskandar Tsani mengangkat Teuku Chik Meureudu sebagai penguasa defenitif
yang ditunjuk oleh kerajaan. Ia merupakan putra sulung dari Meurah Ali Husein,
yang bermana Meurah Johan Mahmud, yang digelar Teuku Pahlawan Raja Negeri
Meureudu.
Sejak Meurah Johan Mahmud hingga kedatangan
kolonial Belanda, negeri Meureudu telah diperintah oleh sembilan Teuku Chik,
dan selama penjajahan Belanda, Landscap Meureudu telah diperintah oleh tiga
orang Teuku Chik (Zelfbeestuurders).
Kemudain pada zaman penjajahan Belanda, Negeri
Meureudu diubah satus menjadi Kewedanan (Orderafdeeling) yang diperintah oleh
seorang Controlleur. Selama zaman penjajahan Belanda, Kewedanan Meureudu telah
diperintah oleh empat belas orang Controlleur, yang wilayah kekuasaannya
meliputi dari Ulee Glee sampai ke Panteraja.
Setelah tentara pendudukan Jepang masuk ke daerah
Aceh dan mengalahkan tentara Belanda, maka Jepang kemudian mengambil alih
kekuasaan yang ditinggalakan Belanda itu dan menjadi penguasa baru di Aceh. Di
masa penjajahan Jepang, masyarakat Meureudu dipimpin oleh seorang Suntyo
Meureudu Sun dan Seorang Guntyo Meureudu Gun.
Sesudah melewati zaman penjajahan, sejak tahun
1967, Meureudu berubah menjadi Pusat Kawedanan sekaligus pusat kecamatan.
Selama Meureudu berstatus sebagai kawedanan, telah diperintah oleh tujuh orang
Wedana. Pada tahun 1967, Kewedanan Meureudu dipecah menjadi empat kecamatan
yaitu Ulee Glee, Ulim, Meureudu dan Trienggadeng Penteraja, yang masing-masing
langsung berada dibawah kontrol Pemerintah Daerah Kabupaten Pidie.
Kini daerah Kawedanan Meureudu menjelma menjadi
Kabupaten Pidie Jaya, dengan Meureudu sebagai ibu kotanya.
Makna
Lambang Daerah
- WADAH
PERISAI : perlindungan kepada segenap masyarakat Pidie Jaya dalam
menghadapi berbagai tantangan guna menuju masyarakat yang adil dan makmur.
- UNTAIAN
PADI dan RANGKAIAN TANDAN KAPAS : kemakmuran rakyat Pidie Jaya yang
adil dan merata.
- BUKU/KITAB
dan PENA : peningkatan SDM atau cita-cita agar Kabupaten Pidie Jaya
senantiasa mengikuti perkembangan ilmu dan teknologi.
- RENCONG :
kepahlawanan dan keperkasaaan serta menjunjung tinggi nilai budaya
leluhur.
- TIMBANGAN
dan Neraca : pemerintah yang adil di Kabupaten Pidie Jaya.
- KUBAH
MASJID dengan BINTANG BULAN : syariat Islam yang merupakan falsafah
hidup bagi masyarakat Pidie Jaya.
- DELAPAN
(8) PINTU di bawah kubah : Kabupaten Pidie Jaya memiliki delapan (8)
kecamatan dalam wilayahnya.
- PITA
MERAH bertuliskan "PIDIE JAYA" : masyarakat Pidie Jaya
berani manghadapi tantangan kemajuan daerah.
- WARNA
DASAR BIRU TUA : potensi laut di seluruh wilayah Pidie Jaya.
- WARNA
DASAR BIRU MUDA : bagian atas bermakna warna angkasa yang bersih
sebagai cita-cita warga Pidie Jaya.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !